Mana yang lebih disukai: kepopuleran atau sesuatu yang pop? Haute couture atau prêt-à-porter?
Saat kita mendengar kata pop hal yang awalnya mungkin terlintas di benak adalah: Andy Warhol. Hal yang terjadi setelahnya adalah kita mengaitkan kata pop dengan kata populer. Sebut saja, istilah lagu pop yang membawa nama-nama populer di Indonesia, seperti Peterpan, Mulan Jamilah dan Melly Goeslow. Padahal, apabila kita tengarai, ternyata kata pop justru bertolak belakang dengan kata populer.
Kata populer mengikutsertakan barisan kata, seperti: terkenal, termashur atau best seller. Hal tersebut memperlihatkan adanya fokus dan tujuan dari hal yang disebut populer, yaitu: massa. Sebuah karya—apapun—yang dikatakan atau ingin disebut sebagai karya yang populer, pastinya datang dari sebuah niat yang sama: keuntungan. Pada awalnya, karya yang populer bertujuan untuk mendapat keuntungan yang sebanyak-banyaknya. Sebagai hasilnya: karya yang populer akan menjadi karya yang siap pakai dan berjumlah banyak. Akibatnya, sesuatu yang populer merupakan tiruan dan tidak mementingkan orisinalitas.
Sebaliknya, kata pop membawa kita kepada sesuatu yang individual dan terbatas. Sesuatu yang pop biasanya mementingkan kepuasan penciptanya, tanpa berpikir mengenai nilai-nilai keuntungan finansial yang akan didapatkan. Sebagai akibatnya, sesuatu yang pop akan membawa kita kepada keorisinalitasan serta sesuatu yang baru, yang bahkan belum pernah terlintas di dalam benak kita.
Istilah pop dan populer mengingatkan saya pada dua istilah fashion: haute couture dan prêt-à-porter. Kedua istilah tersebut seakan membawa kaitan makna yang sama, antara pop dengan haute couture dan populer dengan prêt-à-porter. Sebagai contoh, karya-karya Dior yang sangat individualis dan terbatas dapat dimasukkan dalam golongan haute couture. Hal tersebut disebabkan karya-karya Dior lebih mementingkan kepuasan dan mewakilkan kepribadian label dibanding mencari keuntungan dan mengikuti tren yang ada. Hal yang terjadi justru label-label haute couture membawa kita pada tren yang baru—tren yang tidak kebanyakan. Label-label haute couture biasanya tetap mempertahankan ciri khas yang dimilikinya. Semisal, Versace dengan karya yang seksi, Lanvin dengan karya yang simpel, tapi mewah, Alexander McQueen dengan karya yang sophisticated dan edgy dan Dior—lagi-lagi—dengan kerumitan pada material dan pola.
Keorisinalan karya-karya haute couture membuat ongkos yang harus kita keluarkan untuk mendapatkannya tidak sedikit. Belum lagi, adanya persaingan yang harus dilewati untuk mendapatkan barang-barang yang limited edition. Secara tidak langsung, untuk mendapatkan sesuatu yang precious memang harus menghabiskan banyak hal: tenaga, waktu dan tentunya uang.
Hal yang sebaliknya justru terjadi pada label-label yang prêt-à-porter. Label-label jenis ini sangat mudah dan murah didapat dan dibeli. Label yang prêt-à-porter biasanya lebih mementingkan nilai yang didapat pemasok—kuantitas dibanding kualitas. Biasanya label jenis ini membawa khalayak untuk mendapatkan tren dengan mudah. Apabila oxford shoes dan full skirt sedang diminati, berbondong-bondong semua toko menjualnya. Entah KW I, KW II atau tidak ber-KW. Label jenis ini yang dapat dijadikan contoh adalah label-label yang terdapat di pusat perbelanjaan internasional atau yang istilah bekennya ITC. Kemudahan untuk mengakses dan mendapatkannya membuat label-label jenis ini laku keras. Hal yang sering terjadi adalah apabila kita kehabisan barang di toko A, kita bisa menengok ke toko sebelah yang menjual barang yang sama dengan label yang berbeda.
Namun, terdapat pula label-label prêt-à-porter yang mempunyai kualitas yang terjamin. Biasanya label macam ini masih mempunyai ciri khas dan tema yang menjadi benang merah setiap karya mereka. Label jenis ini pun bertujuan untuk mendapatkan keuntungan yang besar. Mereka menjual barang-barang yang banyak—meskipun tak sebanyak di ITC—dengan kualitas yang baik dan mengikuti tren. Label jenis ini berprinsip bahwa haute couture dapat dibentuk sedemikian rupa agar tak hanya dikagumi, tapi juga dikenakan. Beberapa label yang mengusung prinsip tersebut adalah Xsml, Zara, Pull and Bear, Topshop, dan Mango. Label jenis ini tidak dapat dikatakan label yang haute couture karena memang mereka masih mementingkan kuantitas dan kepentingan pasar. Seringkali saat kita melihat koleksi autumn/winter di label Zara, kita juga dapat menemukan koleksi yang setipe—tidak serupa—di Mango. Harga yang ditawarkan pun tidak setinggi label haute couture. Namun, juga tidak serendah label yang ada di ITC. Oleh karena itu, label prêt-à-porter jenis ini dapat membawa nilai prestige saat dipakai—meskipun tak sebesar label haute couture.
Alasan yang relevan mengapa label prêt-à-porter tidak dapat membawa nilai prestige sejajar dengan haute couture adalah: label prêt-à-porter masih menghamba pada pasar. Label jenis membuat sesuatu dengan tujuan jualan, berbeda dengan label haute couture yang lebih mementingkan kepuasan berkreasi. Kreativitaslah yang ’mahal’ untuk dibayar dan label haute couture memiliki semua itu.
Namun, sebagai hasilnya: label prêt-à-porter menjadi label yang POPULER bagi kalangan yang lebih luas dibanding label haute couture. Dan hal yang sebaliknya, label haute couture menjadi label yang POP.