Jumat, 03 Juli 2009

BINCANG-BINCANG KACAMATA DAN TELEPON GENGGAM

Beberapa waktu yang lalu, saya menemukan seorang pengamen yang memakai kacamata. Umurnya kira-kira 20 tahunan. Dia bersama kedua temannya menyanyikan beberapa lagu dari kelompok musik Indonesia yang belakangan kian menjamur—sampai-sampai saya tidak ingat lagi nama-nama mereka. Temannya yang satu memainkan alat musik pukul yang nampaknya buatan sendiri yang dijadikan alih-alih genderang, sedangkan yang satunya memainkan alat musik petik, gitar, yang terlihat kusam. Yang membuat saya tertarik adalah si pendendang atau bahasa bekennya vokalis yang mengenakan alat bantu melihat atau kacamata.

Kacamata, meskipun sudah ditemukan sejak beratus-ratus tahun yang lalu, sangat jarang digunakan oleh beberapa kalangan. Sepenglihatan saya, kacamata sering diidentikan dengan kesan intelek, kutu buku, atau memang sebagai penutup kekurangan seseorang pada bagian mata (maksud saya dikenakan tuna netra). Pengidentifikasian tersebutlah yang membuat beberapa kalangan tidak mengenakannya karena tidak butuh atau karena merasa tidak pantas. Padahal, kacamata sebenarnya memang diciptakan sebagai alat bantu melihat bagi orang-orang yang memiliki kekurangan dalam hal melihat jauh (rabun jauh) atau melihat dekat (rabun dekat). Seharusnya, berdasarkan fungsi tersebut, kacamata menjadi sebuah kebutuhan bagi yang membutuhkannya.
Namun, hal yang terjadi justru sebaliknya. Seakan-akan kacamata adalah barang mahal atau barang yang tidak diprioritaskan. Bagi beberapa orang, lebih baik hidup dengan mata rabun dari pada membeli kacamata. Kacamata seakan-akan menunjukkan strata seseorang yang mengenakannya. Coba saja hitung berapa banyak orang yang berkerja kantoran yang mengenakan kacamata? Lalu, bandingkan dengan jumlah orang yang bekerja sebagai pembantu yang mengenakan kacamata. Sudah dapat dipastikan, jumlah orang yang bekerja kantoran yang mengenakan kacamata akan lebih banyak dibandingkan jumlah pembantu yang mengenakan kacamata.

Hal yang berbeda terjadi dari kasus telepon genggam. Telepon genggam atau yang dikenal sebagai hape atau henpon, sudah menjamur dimana-mana. Saya dapat dengan mudah melihat penjual asongan yang menyediakan pesan antar dari nomer telepon genggamnya. Tidak sedikit pula orang yang memiliki telepon genggam lebih dari satu. Alasannya, agar lebih murah, jadi punya CDMA dan GSM. Hal tersebut membuat banyak operator telepon genggam dan merek telepon genggam bersaing harga dan promosi. Dari yang harganya selangit hingga yang harganya irit, dari yang hanya bisa mengirim pesan hingga yang bisa nonton televisi.

Hal tersebut memperlihatkan adanya perubahan prioritas kebutuhan. Telepon genggam ibaratnya ‘naik kelas’ menjadi prioritas pertama. Padahal, bila kita lihat fungsinya, telepon genggam hanya berfungsi sebagai alat komunikasi saat kita jauh dari telepon yang menggunakan kabel. Selain itu, telepon genggam tidak berfungsi sebagai alat bantu manusia dari kekurangan yang dimilikinya (maksud saya seperti kacamata). Yang membingungkan justru mengapa telepon genggam lebih populer dibandingkan kacamata, padahal yang seharusnya lebih dibutuhkan adalah kacamata—lagi-lagi saya tekankan: bagi orang yang membutuhkannya. Tapi, apakah orang-orang yang membutuhkannya akan lebih memilih membeli kacamata dibandingkan telepon genggam?

Tidak ada komentar:

Posting Komentar